Rabu, 31 Oktober 2012

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
“Ramai – ramai Merampok Negara”[1]
Bab I
Pendahuluan
Sampe L. Purba
Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang selanjutnya dalam paper ini disingkat dengan BLBI adalah suatu kasus yang fenomenal dalam sejarah perekonomian, perbankan,  sistem serta praktek hukum yang terjadi di Indonesia. Kasus tersebut dikualifikasikan sebagai kasus yang sifatnya fenomenal, karena dalam penanganannya, yang semestinya murni sebagai hal-hal yang bersifat biasa dalam sistem perbankan universal, ternyata memiliki dimensi dimensi hukum, politis, perdata dan aspek pidana. Skandal BLBI adalah salah satu skandal keuangan terbesar di Indonesia yang magnitudenya telah mendunia, melewati beberapa rezim pemerintahan dengan berbagai perannya. Pemerintahan Soeharto (1997 – 1998) mengundang IMF (internasional Monetary Bank) untuk merestrukturisasi perbankan yang mau kolaps dengan terms yang ketat melalui letter of intent. Pemerintahan Habibie (1998 – 1999) berperan dalam memperkenalkan assessmen untuk penanganannya antara lain dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan (BPPN). Pemerintahan Gus Dur (1999 – 2000) mengeksekusi penjualan aset aset di bawah BPPN. Pemerintahan Megawati (2000 – 2004) menerbitkan Release and Discharge kepada para pengemplang BLBI yang koperatif, dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004 – 2009) secara aktif dan selektif mengundang dengan karpet merah mereka mereka yang telah memperoleh Release and Discharge, tetapi kemudian mempersoalkan, membatalkan bahkan menangkapi dan memenjarakan para obligor BLBI yang telah dinyatakan sebelumnya tidak akan menghadapi tuntutan hukum.
Kasus tersebut bermula dari terjadinya gejolak moneter, yaitu merosotnya secara tajam kepercayaan terhadap rupiah, mulai sejak Juli 1997 yang diikuti dengan rumor penutupan perbankan yang kalah kliring. Pemerintah pada 1 November 1997, menutup 16 bank. Tindakan pemerintah ini mengakibatkan psikologi masyarakat terhadap kepercayaan perbankan menurun drastis, sehingga masyarakat beramai ramai melakukan rush menarik simpanannya dari berbagai bank yang diisukan atau dipersepsikan akan ditutup oleh Pemerintah.
Akibat kepanikan masyarakat tersebut, untuk mengatasinya termasuk untuk menjaga jangan sampai collapse sistem perbankan nasional, bank-bank akhirnya meminta bantuan fasilitas Bank Indonesia sebagai lender of the last resort.
Namun capital flight tetap terjadi, BLBI meningkat karena rush terus menerus, dan untuk menutupinya Bank Indonesia tetap menyuntikkan pinjaman kepada perbankan, sehingga jumlah perbankan yang bersaldo negatif bertambah banyak.
Berbagai skema dilakukan oleh Pemerintah untuk menyelamatkan sistem perbankan nasional. Di antara skema-skema tersebut adalah PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), penerbitan Surat Utang Pemerintah untuk mengkonversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara Pemerintah, pemberlakuan klausul release and discharge pada 21 September 1998, yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum asalkan sudah membayar utangnya melalui penyerahan asset hingga memperkenalkan obligasi rekap.
Namun belakangan terungkap bahwa banyak ditengarai bahwa pemberian BLBI oleh Pemerintah tidak digunakan sesuai peruntukannya, yang potensial mengandung hal-hal yang bersifat kejahatan perbankan dan berkualifikasi pidana. Demikian juga pemberian release and discharge yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum, oleh sementara kalangan dianggap telah melampaui kewenangan perdata untuk penyelesaian kasus yang bersifat pidana.
Solusi yang diambil Pemerintah sebagai lanjutan dari kebijakan BLBI adalah dengan menerbitkan obligasi rekap. Obligasi Rekap adalah penambahan penyertaan modal pemerintah di perbankan dengan memperlakukan penyertaan tersebut seperti pinjaman Pemerintah kepada perbankan (sisi debet) dan Penyertaan Modal Pemerintah (sisi kredit).  Atas penempatan obligasi tersebut, Pemerintah menjadi pihak berhutang kepada perbankan yang harus membayar bunga obligasi secara reguler kepada perbankan. Pemerintah berharap bahwa dengan obligasi rekap tersebut, perbankan memiliki kemampuan untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat, membiayai operasional perusahaan, dan apabila telah beruntung dari selisih spread (selisih bunga simpanan yang diterima dengan yang bunga pinjaman yang disalurkan), pada waktunya perbankan akan mengembalikan Penyertaan Modal Pemerintah. Namun dalam perjalanan waktu, ternyata penyertaan Pemerintah dalam bentuk obligasi rekap justru menjadi menjerat Pemerintah. Pemerintah terikat untuk membayar bunga obligasi secara reguler dan melunasinya ke perbankan yang tercermin dalam beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Sebaliknya, bunga maupun cicilan obligasi rekap yang diperoleh perbankan dari topangan APBN, justru dipergunakan tidak  sesuai peruntukannya untuk penyaluran ke masyarakat dalam fungsi intermediaries perbankan. Dana segar yang diterima perbankan yang telah menyalah gunakan BLBI, malah dilakukan penyalah gunaan kedua dengan memanfaatkan dana segar tersebut untuk keperluan sendiri dan afiliasinya yang tidak berkontribusi kepada penyehatan perbankan.
Paper ini akan mengkaji empat hal sehubuk mengatasi kesulitan di atas, yaitu :
  1. Apakah kebijakan BLBI yang diambil Pemerintah dan implementasi oleh Bank Sentral telah sesuai dengan lingkup kewenangannya
  2. Apakah penggunaan  fasilitas BLBI telah sesuai dengan tujuan pemberiannya
  3. Apakah pemberian R&D tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia
  4. Apakah penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi yang tepat
Bab II
Manajemen perbankan dalam perekonomian dan masalah hukum atas impelementasi kebijakan BLBI
BLBI adalah suatu kebijakan (policy) dari Pemerintah dan bank Indonesia pada rezim orde baru di mana Bank Indonesia menyuntikkan dana kepada bank-bank nasional yang dengan berada dalam kesulitan likuiditas agari bank-bank tersebut dapat membayar kepada nasabah masing-masing, untuk menghindari terjadinya kepanikan masyarakat dan gagal bayar dari bank tersebut kepada nasabahnya.Pengucuran tersebut adalah semacam sinyal dan blanket guarantee dari Pemerintah bahwa simpanan nasabah mendapatkan jaminan dari Pemerintah.[2]
Kebijakan yang demikian, dalam disiplin ilmu moneter dan perbankan adalah sebuah keniscayaan sepanjang dilakukan dalam koridor prudentiality dan mengikuti ketentuan perundang-undangan. Hubungan perbankan, Pemerintahan, dan doktrin hukum bisnis yang terkait akan dibahas pada bab ini, sebagai berikut :
  1. Perbankan dalam perekonomian
  2. Perbankan
      Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya[3]. Bank adalah suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediaries) yang menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana (idle fund surplus unit) kepada pihak yang membutuhkan dana atau kekurangan dana (deficit unit) pada waktu yang ditentukan[4].  Undang-undang nomor 10 tahun 1998, menambahkan definisi bank dengan anak kalimat “dalam rangka meningkatkan taraf hidpu rakyat banyak”, sehingga selengkapnya berbunyi : Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Unsur modal sendiri dalam perbankan adalah tidak dominan. Karena itu  Perbankan dalam melaksanakan operasinya harus disiplin dalam mengikuti aturan aturan perbankan, mengingat dana yang disalurkan adalah dana pihak ketiga. Disiplin ketat tersebut antara lain adalah dengan menjaga rasio kecukupan modal tertentu (capital adequacy ratio), analisis spread, manajemen durasi jatuh tempo penyaluran pinjaman dengan simpanan masyarakat, kehati hatian dalam analisa pemberian kredit, baik dari sisi kelayakan, keekonomian dan agunan kredit, maupun batas maksimum pemberian kredit (legal lending limit), serta larangan penyaluran kredit secara eksesif kepada kelompok usaha sendiri.
Pelanggaran ketentuan perbankan, selain merupakan pelanggaran administratif, pelanggaran perdata juga mengandung pelanggaran pidana.[5]
  1. Bank Sentral
Bank Sentral, dalam dunia perbankan, di suatu negara lebih banyak berperan sebagai institusi pemerintahan, atau kuasi institusi pemerintahan yang tujuan utamanya bukan untuk tujuan komersial seperti untuk maksimasi profit, tetapi yang umumnya dimaksudkan adalah untuk mencapai tujuan tertentu pada perekonomian suatu negara secara umum. Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah  seperti pengendalian moneter, menjaga berjalannya sistem pembayaran, pengawasan perbankan, menjadi mitra Pemerintah dalam pengendalian indikator ekonomi makro dan sejenisnya.  Dalam pemahaman Keynessian dan aliran monetarist pada umumnya, tugas utama bank sentral adalah : to control the quantity of money and interest rates, to prevent massive bank failures and act as advisor to the government.[6]
Beberapa ketentuan  perundang-undangan mengenai fungsi bank sentral dalam  Undang-undang nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang relevan dengan topik yang dibahas antara lain adalah :
Pasal 4
(1)  Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia
(2)  Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.
Pasal 7
(1)  Tujuan Bank Indonesia  adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
(2)  Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian
Pasal 8
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7,
Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
  1. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
  2. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;
  3. mengatur dan mengawasi Bank.

Pasal 11
(4)  Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah
Ketentuan-ketentuan di atas merupakan revisi secara fundamental dari Undang-undang tentang Bank Indonesia, sebelumnya yang menempatkan Bank Indonesia sebagai bagian dari Pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Undang undang nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral
  1. Hubungan Bank Sentral dan Pemerintah
Hubungan Bank Sentral dan Pemerintah di berbagai negara adalah bervariasi. Ada negara yang memasukkan Bank Sentral sebagai bagian dari Pemerintahan (seperti Indonesia dalam rezim Undang-Undang nomor nomor 13 tahun 1968) , ada juga Negara seperti Jerman, yang memberi independensi sepenuhnya kepada Bank Sentralnya serta tidak tidak merupakan bagian dari institusi Pemerintahan ataupun politik, atau yang merupakan hybrid dan perpaduan dari keduanya seperti Federal Reserve Bank di USA.
Di Indonesia, Hubungan Bank Sentral dengan Pemerintah adalah sebagai berikut[7] :
HUBUNGAN BANK SENTRAL DENGAN PEMERINTAH.
Pasal 8.
(1) Bank menjalankan tugas pokok tersebut dalam Pasal 7, berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Dalam menetapkan kebijaksanaan tersebut pada ayat
(1) Pemerintah dibantu oleh suatu Dewan Moneter.
DEWAN MONETER.
Pasal 9.
(1) Dewan Moneter membantu Pemerintah dalam merencanakan dan menetapkan kebijaksanaan moneter seperti termaksud dalam Pasal 8, dengan mengajukan patokan-patokan dalam rangka usaha menjaga kestabilan moneter, kepenuhan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup rakyat.
(2) Dewan Moneter memimpin dan mengkoordinir pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 10.
(1) Dewan Moneter terdiri atas 3 (tiga) orang anggota, yaitu Menteri-menteri yang membidang Keuangan dan Perekonomian serta Gubernur Bank.
2) Antara Anggota-anggota Dewan Moneter dan Anggota-anggota Direksi tidak boleh ada hubungan keluarga sampai dengan derajat ketiga menurut garis lurus maupun garis ke samping, termasuk menantu dan ipar.
(3) Jika seorang Anggota Direksi sesudah pengangkatannya masuk hubungan keluarga yang terlarang dengan seorang Anggota Dewan Moneter sebagai dimaksudkan dalam ayat (2), maka Anggota Direksi yang bersangkutan tidak boleh terus memangku jabatannya tanpa izin Presiden.
(4) Jika dipandang perlu, Pemerintah dapat, menambahkan beberapa orang Menteri sebagai Anggota penasehat kepada Dewan Moneter.
(5) Sekretariat Dewan Moneter diselenggarakan oleh Departemen Keuangan.
Pasal 11
(1) Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan.
(2) Anggota Dewan Moneter pada tiap kali ia berhalangan, menunjuk seorang wakil yang atas kuasanya dapat turut serta dalam Sidang-sidang Dewan Moneter dengan mempunyai hak suara.
Salah satu tugas bank sentral adalah menjaga berjalannya sistem pembayaran di suatu negara. Dalam hal suatu bank peserta kliring mengalami kalah kliring (saldo tagihannya terhadap bank Indonesia lebih kecil di banding saldo kewajibannya), maka untuk menjaga tetap berjalannya sistem pembayaran, bank sentral mengharuskan bank yang kalah kliring untuk menambah saldo rekeningnya di bank sentral. Penambahan saldo tersebut dapat berupa pinjaman jangka pendek, kredit likuiditas atau bantuan likuiditas.
Fungsi intermediaries perbankan didasarkan pada perhitungan normal bahwa jatuh tempo pinjaman pihak ketiga di suatu bank tidak akan mengganggu kemampuan membayar bank atas suatu tagihan yang dimintakan ke bank itu secara langsung, ataupun yang penagihannya melalui mekanisme kliring. Suatu perbankan akan tidak dapat bertahan apabila secara serentak, para nasabah menarik uang dari sistem perbankan tersebut, dan tidak ada simpanan baru di dalam sistem perbankan. Apabila suatu bank tidak mampu membayar tagihan yang jatuh tempo, hal ini akan dapat mendorong terjadinya rush, yaitu para nasabah akan ramai-ramai menarik simpanannya dari sistem perbankan. Hal ini selanjutnya akan memberikan efek menular (contagion effect) terhadap perbankan yang relatif masih sehat keuangannya.
Untuk menjaga agar tidak terjadi contagion effect tersebutlah, bank  sentral dengan berbagai instrumen yang dimilikinya dapat menginjeksikan sejumlah likuiditas kepada perbankan, yang penyaluran, penggunaan dan pelaporannya harus dilakukan dengan mengikuti kaidah tertentu atas dasar prinsip kehati-hatian dan kepercayaan.
  1. B.       Doktrin Keputusan Bisnis
Hukum bisnis sebagai bagian dari hukum perdata, menganut asas kebebasan berkontrak. Asas tersebut sampai pada tingkat tertentu memberikan kebebasan (partij authonomij) kepada para pihak untuk merumuskan kesepakatan apapun yang mengikat para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum memaksa (public law), dilakukan dengan itikad baik serta tidak mengandung cacat tersembunyi. Kebebasan para pihak tersebut tidak akan mengikat bagi publik apabila ternyata bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
Dalam doktrin keputusan bisnis berlaku suatu asas yaitu bahwa suatu keputusan yang diambil dalam rangka pelaksanaan tidak dapat dituntut sepanjang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, prudent, dalam lingkungan kewenangannya serta tidak bertentangan dengan kaidah hukum memaksa. Lingkup tugas manajemen dalam lingkup jabatannya yang harus dilakukan dengan kejujuran dan ketekunan yang pantas, oleh Rai Widjaya[8], dikenal dengan :
  1. Tugas yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duties, trust and confidence)
  2. Tugas yang berdasarkan kecakapan, kehati-hatian dan ketekunan ( duties of skill, care and diligence)
    1. Tugas yang berdasarkan ketentuan undang-undang (statutory duties)
    2. C.       Pendekatan ekonomi versus pendekatan moral dalam penyelesaian tindak pidana ekonomi[9]
Dalam dunia bisnis, pendekatan perdata lebih dikedepankan daripada pendekatan pidana, sepanjang tingkat pelanggaran dan kerugian yang diakibatkan suatu perbuatan tersebut masih dapat dikelola. Hukum pidana sebagai sarana terakhir (ultimum remedium) dan bukan pilihan utama (primum remedium) untuk penyelesaian suatu kasus. Pendekatan yang konsisten memandang bahwa hukum pidana harus diterapkan secara konsisten untuk memberi efek jera, didasari pada filsafat moral dari aliran Imanuel Kant (Kantisme) yang memandang bahwa pelaku pelanggaran pidana, melakukan perbuatannya adalah dengan kesadaran penuh ( a guilty mind = mens rea). Sedangkan aliran utilitarianisme berpendapat bahwa penghukuman tidak efektif untuk memberikan efek jera, karena itu lebih baik dicarikan suatu tindakan yang dapat mengkompensir suatu pelanggaran dengan memberikan kemanfaatan yang maksimal bagi masyarakat. Pemidanaan hanyalah merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dalam hal pelanggar hukum tidak koperatif terhadap kebijakan yang diambil otoritas suatu negara untuk mengkompensir kesalahan tersebut.
Kedua pendekatan di atas masing-masing melihat pemenuhan unsur keadilan dari sisi yang berbeda. Pendekatan pemidanaan sebagai sarana utama, didasarkan pada konsep keadilan retributive. Konsep keadilan retributive percaya bahwa semua orang harus mendapatkan keadilan yang sama, dan keadilan hanya dapat diwujudkan manakala diberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan tingkat keseriusan dan akibat dari kesalahan tersebut. Sedangkan pendekatan yang lebih melihat kepada suatu pemulihan hubungan hukum dari akibat suatu kesalahan, dikenal dengan pendekatan dengan konsep keadilan komutatif. Konsep keadilan komutatif lebih banyak terdapat pada hubungan perikatan keperdataan, yang mencari penyelesaian suatu sengketa dengan win-win solution biasanya melalui lembaga arbitrase.
Dalam common law, dikenal juga penyelesaian kasus dengan pendekatan kompensasi komutatif yang disebut injunction. Konsep ini berupa penetapan pengadilan yang mengabulkan gugatan satu pihak, dimana pihak yang kalah diwajibkan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu untuk jangka waktu tertentu (temporary restraining order)[10].
  1. D.       Aspek pidana dalam keputusan bisnis
Menurut Romli Atmasasmita[11], kejahatan bisnis dalam peraturan perundang-undangan dalam bidang keuangan dan perbankan dapat diterapkan tiga sanksi yaitu sanksi administratif, sanksi keperdataan dan sanksi pidana. Selanjutnya, Romli Atmasasmita[12] juga menyatakan bahwa dalam hal terdapat suatu pelanggaran dalam praktek hukum keuangan dan perbankan, tidak ada urutan preferensi atau peraturan perundang-undangan yang menyatakan hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengadili perbuatan tersebut. Pada hal, penegasan mengenai preferensi tersebut adalah penting untuk mendapatkan dan memberikan kepastian hukum bagi para penegak hukum, pelaku bisnis maupun para stake holder yang terkait. Romli Atmasmita juga menyatakan bahwa penyelesaian secara keperdataan dalam kasus yang mengandung unsur tindak pidana di Indonesia justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidak adilan[13].
Bab III
Analisis kebijakan, implementasi dan aspek hukum BLBI
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, pembahasan dalam bab ini akan meliputi :
  1. Apakah kebijakan BLBI yang diambil Pemerintah dan implementasi oleh Bank Sentral telah sesuai dengan lingkup kewenangannya
  2. Apakah penggunaan  fasilitas BLBI telah sesuai dengan tujuan pemberiannya
  3. Apakah pemberian R&D tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia
  4. Apakah penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi yang tepat

  1. Apakah kebijakan BLBI yang diambil Pemerintah dan implementasi oleh Bank Sentral telah sesuai dengan lingkup kewenangannya
Respon yang diberikan Pemerintah dalam menangani krisis perbankan dalam bentuk BLBI berdasarkan ketentuan normatif perundang-undangan masih berada dalam lingkup kewenangan Pemerintah. Namun demikian, peristiwa tersebut bukan peristiwa yang lepas dari rentetan kebijakan Pemerintah sebelumnya, seperti pelonggaran dan liberalisasi perbankan yang dikenal dengan Paket Oktober 1988. Dalam paket tersebut, Pemerintah memberi izin pendirian bank umum kepada masyarakat luas hanya dengan modal Rp. 10 milyar. Kemudahan pendirian perbankan, yang lebih menekankan kepada aspek perluasan (marketing), tanpa memperhatikan prudentiality merupakan bibit lahirnya krisis perbankan.[14] Penyaluran kredit kepada kelompok usaha sendiri, assessmen kelayakan pemberian kredit yang di bawah standar, serta fasilitasi yang diberikan Pemerintah dan Bank Indonesia seperti fasilitas diskonto, Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk menutupi ketidak sehatan perbankan, yang tidak disertai dengan sanksi yang tegas kepada manajemen perbankan berakumulasi sedemikian rupa yang meledak tidak lebih dari 10 tahun sejak paket tersebut diperkenalkan Pemerintah.
BLBI adalah kebijakan Pemerintah. BLBI bukan kebijakan Bank Indonesia. Bank Indonesia, semata-mata adalah pelaksana dari suatu kebijakan Pemerintah. Sebagai bukti dari argumentasi di atas, adalah bahwa atas penyaluran BLBI, Bank Indonesia mengalihkan tagihan[15] kepada penerima BLBI menjadi tagihan Pemerintah melalui Badan yang khusus dibentuk Pemerintah untuk itu yang bernama Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dibentuk oleh Pemerintah dengan Keppres nomor 27 dan no. 34 tahun 1998.  Tugas Pokok BPPN misalnya antara lain adalah untuk merestruktusisasi sektor sperbankan secara keseluruhan sejalan dengan program yang diformulasikan oleh Bank Indonesia. Dengan  demikian, tidak mudah untuk memilah antara tanggungjawab Pemerintah maupun tanggungjawab Bank Sentral sehubungan dengan krisis yang terjadi dengan BLBI.
Dalam hal penyaluran BLBI, bank Indonesia berkilah dan berlindung di balik berbagai aturan normatif sebagai berikut :
  1. Bank Indonesia merupakan lender of the last resort bagi bank nasional
    1. Rush terhadap salah satu bank dapat mengakibatkan berkurangnya dana dalam sistem perbankan, yang pada gilirannya akan berpengaruh (contagion effect) yang memberikan efek domino terhadap bank-bank lain dalam sistem perbankan nasional
    2. Adanya program penjaminan pemerintah terhdapa simpanan nasabah di bank-bank nasional memungkinkan Bank Indonesia secara otomatis memberikan BLBI kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas
    3. Pemberian BLBI oleh Bank Indonesia kepada bank bank adalah untuk menolong sistem perbankan nasional.
Terhadap hal tersebut di atas, auditor yang ditugasi Pemerintah melihat bahwa kesalahan dalam implementasi BLBI ada pada Bank Indonesia, sebagai berikut :
a.         Mengabaikan fungsi pengawasan
b.         Mengabaikan penerapan sanksi secara tegas dan konsekuen terhadap para pelanggar
c.         Mengabaikan langkah langkah pengamanan terhadap penyimpangan oleh bank bank yang melanggar batas minimum pemberian kredit (BMPK), melanggar prinsip prudential banking, mutasi akuntansi yang merupakan financial engineering, membiarkan penggunaan BLBI tanpa kendali, diskriminasi penyaluran BLBI, intervensi valas kepada bank bersaldo debet, mengambaikan program penjaminan perbankan, membiarkan penyelesaian jatuh tempo melalui mekanisme kliring
            Penulis melihat ada ketidak seimbangan penilaian dan pemberian beban tanggung jawab dalam hal ini. Auditor BPK maupun BPKP tidak ada mengungkap apakah ada beban kesalahan atau kekeliruan pada sisi Pemerintah, tetapi semata-mata ditekankan kepada Bank Indonesia sebagai implementator kebijakan Pemerintah.
  1. Apakah penggunaan  fasilitas BLBI telah sesuai dengan tujuan pemberiannya
Kebijakan pemberian BLBI sesuai dengan Keputusan Presiden nomor 26 tahun 1998 tanggal 26 Januari 1998 dimaksudkan Pemerintah adalah dalam rangka penyelamatan perbankan nasional dari rush dan kolapsnya sistem perbankan. Karena itu Keppres dimaksud adalah dalam rangka penjaminan simpanan nasabah, untuk memberi ketenangan psikologis agar masyarakat tidak ramai-ramai menarik uangnya dari sistem perbankan. Untuk tujuan tersebut, maka penggunaan BLBI seyogianya mengikuti aturan, kriteria dan mekanisme yang jelas untuk mencapai tujuannya.
Namun dalam prakteknya, hal tersebut tidak demikian. Penyaluran BLBI oleh Bank Indonesia lebih banyak ditekankan untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank yang disebabkan oleh penarikan dana pihak ketiga dalam jumlah besar sehingga terjadi saldo giro debet di BI. BI memutuskan akan tetap memberi kelonggaran berupa fasilitas saldo debet dengan mekanisme kliring, tanpa memberikan dispensasi, batas jumlah dan batas waktu yang jelas serta kriteria yang jelas. Hal ini tertuang dalam Keputusan Rapat Direksi Bank Indonesia tanggal 15 Agustus 1997.
Auditor BPKP dan BPK menyatakan dari total BLBI yang disalurkan sebesar Rp. 144,536 Triliun, terdapat sejumlah Rp. 138,442 Triliun atau 95.78 % yang menimbulkan potensi kerugian negara.
Penyimpangan dalam penggunaan BLBI tersebut adalah sebagai berikut[16] :
  1. Penggunaan BLBI untuk membayar/ melunasi modal pinjaman/ pinjaman subordinasi ( Rp. 46,08 M)
  2. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya (Rp. 46,088 M)
  3. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait/ kelompok terafiliasi (Rp. 20,36 T)
  4. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak ketiga di luar ketentuan ( Rp. 4,47 T)
  5. Penggunaan BLBI untuk transaksi surat berharga (Rp. 136,90 M)
  6. Penggunaan BLBI untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama jatuh tempo (Rp. 22,46 T)
  7. Penggunaan BLBI untuk membiayai placement/ penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank (Rp. 9,82 T)
  8. Penggunaan BLBI untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap (aset tak bergerak) seperti pembukaan cabang baru, rekrutmen karayawan, peluncuran produk baru, penggantian sistem (Rp. 456,35 M)
  9. Penggunaan BLBI untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada (Rp. 16,81 T)
  10. Penggunaan BLBI untuk membiayai overhead (biaya operasional) bank umum (Rp. 87,14 M)
  11. Penggunaan BLBI untuk keperluan lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (Rp. 10,06 T)
  12. Apakah pemberian R&D (release and discharge) tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia
Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang telah menyelesaiakan kewajibannya atau tidakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan kewajiban pemegang saham, pada pasal-pasalnya antara lain menyatakan :
Ayat 1.
Kepada para debitur yang telah menyelesaian kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/ atau Akta Pengakuan Utang/ APU, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam perjanjian tersebut.
Ayat 4.
Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/ atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Instruksi Presiden di atas memberikan implikasi dan persoalan hukum yang luas yaitu :
  1. Pengakuan Pemerintah yang lebih tinggi kepada hukum privat dibandingkan dengan hukum publik. Ayat 1 pasal tersebut memberikan implikasi  bahwa terhadap para debitur akan diberikan pelepasan dari suatu tanggungjawab (release and discharge), tanpa mempersoalkan apakah timbulnya kewajiban tersebut, karena suatu mismanagement, pelanggaran hukum atau suatu perbuatan yang mungkin mengandung unsur pidana. Akta pengakuan utang (APU) misalnya hanya menyangkut pengakuan berdasarkan verifikasi atas jumlah utang BLBI seorang debitur. Akta itu telah menjelma dan berubah menjadi suatu peniada terhadap apapun penyebab timbulnya hutang maupun terhadap bagaimana BLBI tersebut dipergunakan.
  2. Hukum administrasi Negara, mengambil alih dan berdiri di atas hukum publik. Adalah tidak lazim dan bertentangan dengan hukum positif, manakala suatu instruksi administrasi (dalam hal ini berupa INPRES) menyapu bersih dan meniadakan sama sekali aspek pidana.
Dalam hukum positif Indonesia, berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), misalnya, penghentian penuntutan hanya dapat dilakukan oleh penuntut umum karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum (pasal 140 ayat 2 a).
Sedangkan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut hanya dapat dilakukan apabila :
  1. Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap mengenai tindak pidana yang sama/ nebis in idem (pasal 76)
  2. Terdakwa meninggal dunia (pasal 77)
  3. Perkara telah dinyatakan telah lewat waktu/ kadaluwarsa (pasal 78)
  4. Pelanggaran yang diancam dengan denda saja (pasal 82)
  5. Tidak ada pengaduan dalam hal perkara yang dimaksud adalah berupa delik aduan (pasal 72 – 75)
Demikian juga dalam Undang-undang nomor  31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada pasal 4 dinyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana.
Memang, apabila ditinjau sepintas, pengeluaran Inpres tersebut sampai pada tingkat tertentu dapat dipandang sebagai kemenangan hukum perdata atau hukum privat atas hukum publik, yang memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang bersetuju dan bersepakat serta koperatif terhadap kebijakan Pemerintah yang lebih mengutamakan recovery of asset daripada penghukuman. Pendekatan yang lebih mengutamakan penyelesaian perdata dibandingkan dengan penyelesaian pidana, dalam istilah hukum dikenal dengan pilihan yang menggunakan hukngan (financial intermediimum remedium. Sedangkan apabila pendekatan yang diambil adalah lebih menonjolkan fungsi menghukum, dalam istilah hukum disebut menggunakan hukum sebagai primum remedium.
Gugatan atas INPRES nomor 8 tahun 2002
INPRES nomor 8 tahun 2002, mendapat gugatan dan perlawanan besar dari sekelompok masyarakat. Inpres itu dianggap telah melukai rasa keadilan masyarakat, dimana para pengemplang keuangan negara, dibebaskan dari segala tuntutan hukum asal yang bersangkutan mau koperatif terhadap skema penyelesaian yang disodorkan oleh Pemerintah. Kwik Kian Gie[17], sebagai Menteri Perekonomian pada masa dikeluarkannya Inpres tersebut adalah salah satu penentang hebat dari kebijakan Presiden dimaksud, dan bahkan telah memprediksi bahwa gugatan dari masyarakat di kemudian hari akan timbul karena INPRES di atas dianggap terlalu memihak kepada para pengemplang BLBI, tanpa mempersoalkan dan melihat adanya mismanagement yang berbau tindak pidana yang mengancam kolapsnya sistem perbankan. Demikian juga penggunaan BLBI maupun skema penyelesaiannya, serta akibat dan beban luar biasa terhadap perekonomian negara, dipandang merupakan pengkhianatan terhadap rasa keadilan masyarakat dan Presiden dianggap telah bertekuk lutut di bawah jaring pendiktean kapitalis globalis.
Mahkamah Agung mengelak dari substansi persoalan
Keberadaan Inpres nomor 8 tahun 2002, oleh kalangan masyarakat yang disponsori oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diajukan gugatan judicial review ke pengadilan melalui mahkamah agung pada tanggal 27 Mei 2003.
Pokok gugatan antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Inpres nomor 8 tahun 2002 telah melanggar peraturan perundang-undangan di atasnya, dimana menurut ketentuan pasal 4 ayat 1 Tap MPR no. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata urutan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa “ setiap atauran hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi”.
  2. Pelanggaran terhadap ketentuan yang lebih tinggi itu antara lain adalah terhadap
    Tap MPR IX/ MPR/1998 yang menugasi Presiden untuk konsisten dalam memberantas korupsi, sesuai undang-undang; Undang-undang nomor 31 tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana; Undang-undang nomor 8 tahun  1981, yang memberikan hak untuk penghentian penuntutan (SP3) kepada penyidik, setelah melalui proses penuntutan ternyata tidak ditemukan cukup bukti untuk melanjutkan penuntutan; Undang-undang nomor 5 tahun 1991 tentang kejaksaan yang memberi hak untuk menggunakan hak oportunitasnya demi kepentingan umum; KUHP yang mengatur kriteria tetang peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut.
Mahkamah Agung dengan putusan nomor 06G/HUM/2003 tanggal 30 Mei 2007 mengelak untuk membahas substansi yang digugat, dan menyatakan bahwa Inpres nomor 8 tahun 2002 adalah merupakan kebijakan Pemerintah dan tidak dapat dijadikan sebagai objek sengketa dalam judicial review. Pertimbangan putusan hukum adalah sebagai berikut :
  1. Inpres tersebut merupakan kebijakan dalam rangka pelaksanaan perjanjian PKPS, yang berbentuk MSAA, MRNIA dan/ atau APU. Kepada para debitur yang patuh diberikan jaminan kepastian hukum berupa pembebasan dari tuntutan pidana, dan kepada yang tidak patuh tetap diterapkan proses hukum, termasuk tuntutan pidana
  2. Presiden berwenang menetapkan langkah kebijakan (beleid regels), demi kepastian hukum serta menyelamatkan aset negara
  3. Sebagai kebijakan, Inpres Release and Discharge tidak termasuk sebagai obyek hak uji materiil. Oleh karena itu, MA menolak gugatan hak uji materi Inpres No. 8 tahun 2002.
Putusan  Mahkamah Agung tersebut, menurut penulis adalah tidak konsisten, kontroversial dan mengandung contradictio in terminus.  Di satu sisi MA menyatakan tidak berwenang melakukan uji material, tetapi di sisi lain MA menyatakan bahwa Inpres dimaksud adalah semata mata merupakan beleid Pemerintah, dan isi atau materinya adalah proper dan masih dalam lingkup kewenangan kebijakan Pemerintah.
  1. Apakah penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi yang tepat
    Penyelesaian krisis perbankan dengan skema obligasi rekap merupakan konsep yang disampaikan IMF (Internasional Monetary Fund) pada tahun 2000 an kepada Pemerintahan Presiden Megawati. Jumlah OR yang dipersiapkan adalah Rp. 432 Triliun, yang bersama bunga yang masih akan digelontorkan Pemerintah berjumlah menjadi Rp. 600 Triliun[18].
Cara kerja atau mekanisme bekerjanya obligasi rekap, secara teoretis adalah sebagai berikut :
  1. Kepada perbankan yang secara yuridis telah kolaps (saldo modal negatif), ditopang Pemerintah dengan menempatkan obligasi rekap (sebagai asset) seolah-olah pinjaman Pemerintah kepada perbankan. Atas pinjaman tersebut Pemerintah membayar bunga secara reguler dan berjanji akan menarik atau mencicil  pinjamannya pada jangka waktu (schedule) yang disepakati.
  2. Pembayaran bunga secara reguler ke pada perbankan, dan cicilan OR nya merupakan beban Pemerintah yang tercermin pada sisi pengeluaran APBN setiap tahun
  3. Perbankan mencatat pada sisi kredit OR yang diterima sebagai Tambahan Modal Perbankan (equity).
  4. Skeme tersebut memberi perbankan dua keuntungan sekaligus, yaitu memenuhi ketentuan kesehatan perbankan secara internasional (Capital Adequacy Ratio) yang mencukupi sesuai ketentuan Bank of Internasional Settlement, dan memperoleh pendapatan secara teratur melalui bunga dan cicilan OR dari Pemerintah
  5. Bank yang telah sehat, diharapkan dapat menjalankan fungsi intermediaries secara normal. Hal ini akan ditandai dengan penyaluran pinjaman dan penerimaan simpanan  masyarakat. Selisih bunga (spread) yang diperoleh, akan merupakan akumulasi keuntungan yang pada akhirnya dapat dipergunakan oleh perbankan untuk mengembalikan penyertaan modal pemerintah yang sebelumnya telah menjadi pemilik modal mayoritas perbankan, melalui konversi BLBI menjadi penyertaan modal pemerintah.
  6. Pada akhirnya sistem perbankan akan pulih, Pemerintah mengembalikan perbankan ke swasta dan menarik modalnya yang ada di perbankan.
Mengingat kebijakan OR pada dasarnya hanyalah financial engineering, maka Pemerintah memberlakukan aturan yang ketat untuk memastikan agar uang yang digelontorkan melalui APBN itu tidak disalah gunakan lagi oleh pengelola perbankan. Aturan-aturan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Pada dasarnya, secara hukum pemilik perbankan telah beralih kepada Pemerintah, karena kepemilikan melalui BLBI dan OR. Pemilik lama, hanya sekedar pengelola, dan Pemerintah menempatkan wakilnya untuk mengawasi operasi perbankan
  2. Penjualan perbankan hanya akan dilakukan jika bank sudah sehat, mampu membuat laba dan telah mengembalikan OR kepada Pemerintah
  3. Penjualan bank-bank akan dilakukan dengan tender terbuka secara transparan. Pemerintah akan mengumumkan secara terbuka kepada semua pembeli potensial di seluruh dunia
  4. Pemerintah menentukan harga minimum bank, dan akan dirahasiakan serta disimpan pada notaris yang ditunjuk bersama oleh Pemerintah bersama IMF.
Kebijakan  tersebut, baik dalam konsepnya maupun prakteknya dipandang tidak mencerminkan keadilan dan bertentangan dengan logika hukum, serta mengandung banyak penyelewengan antara lain sebagai berikut :
  1. Menyuntik perbankan yang kolaps karena mismanagement oleh pengelolanya dengan topangan dana APBN dipandang melukai rasa keadilan masyarakat. Management yang salah dalam mengelola tidak memperoleh hukuman apapun sesuai dengan Undang-undang perbankan atau undang-undang pemidanaan yang lain
  2. Pemerintah tidak menarik OR meskipun perbankan telah sehat dan memiliki spread yang positif. Pemerintah tidak mempercepat batas waktu penghentian subsidi pemerintah melalui OR.
  3. Obligasi belum ditarik pada saat bank dijual. Ini berarti, sekalipun kepemilikan perbankan telah berpindah baik kepada swasta, mantan pemilik atau asing, Pemerintah tetap akan membayar bunga dan cicilan pokok melalui beban rakyat di APBN
  4. Penjualan bank tidak dilakukan secara transparan dan terbuka
Dalam kenyataannya bank-bank yang dijual jatuh kepada para pemilik lama, atau mantan pejabat IMF, dengan skeme dan harga yang justifikasinya tidak dapat dijelaskan dengan wajar
Bab IV
Simpulan
Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat diambil simpulan sebagai berikut :
  1. Kebijakan BLBI yang diambil oleh Pemerintah dan implementasi oleh Bank Sentral, sepanjang mengenai kebijakan normatif dalam rangka penyelamatan perbankan dalam sistem perekonomian masih berada dalam lingkup kewenangan institusi masing-masing. Dalam sisi kebijakan, maka beban pertanggungjawabannya lebih besar adalah pada Pemerintah
  2. Penggunanaan fasilitas BLBI dalam impementasinya tidak sesuai dengan tujuan pemberiannya. Dari sisi implementasi, maka beban pertanggungjawabannya lebih besar adalah pada Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
  3. Pemberian release and discharge bagi para obligor yang berdasarkan penilaian Pemerintah telah kooperatif adalah bertentangan dengan sistem hukum, logika hukum dan asas keadilan hukum di Indonesia
  4. Penyelesaian BLBI dengan penerbitan Obligasi Rekap merupakan solusi yang salah baik dari segi konsep, implementasi maupun pertanggungjawaban publik Pemerintah sebagai pemegang mandat kedaulatan kepada rakyat. Mengalihkan akibat finansial dari kekeliruan dalam managemen perbankan ke pada masyarakat melalui APBN adalah bertentangan dengan asas keadilan masyarakat dan dapat dipandang sebagai tindakan yang melebihi kewenangan dari Pemerintah.

Daftar Pustaka
I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007
Kwik Kian Gie, MSAA dan drama penerbitan R & D, dalam Marwan Batubara, dkk , Skandal BLBI : Ramai-ramai Merampok Negara, Haekal Media Center, Jakarta, 2008
Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005
M. Rizal Alif, Penyalah gunaan dana BLBI sebagai kejahatan kerah putih di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, vol 27 tahun 2008,
Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi 2, Predana Media,Jakarta, 2003
________________, Privatisasi BUMN terkait Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Unpublished paper, 2008
T. Mayer, J. Desenberry, RZ. Aliber, Money Banking and the Economy, fith ed. WW Norton coy, New York, USA, 1993
Tim Redaksi Pustaka Timur, Kasus BLBI, Tragedi Korupsi terbesar di Indonesia, Yogyakarta, 2007
Perundang-undangan
Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-undang nomor 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral
Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia

[1] Referensi Utama penulisan paper ini, diambil dari :  Marwan Batubara, dkk. Skandal BLBI : Ramai-ramai Merampok Negara, Haekal Media Center, Jakarta, 2008 [2] M. Rizal Alif, Penyalah gunaan dana BLBI sebagai kejahatan kerah putih di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, vel 27 tahun 2008, hal. 49
[3]Pasal 1 a Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
[4] Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 14
[5] Pasal-pasal mengenai konsekuensi  administratif, perdata atau pidana tersebut antara lain terdapat pada pasal 48 – pasal 53 Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 (yang diterbitkan sementara   krisis perbankan sedang terjadi), sanksi-sanksi administratif, perdata dan pidana tersebut ditambah dan disempurnakan pada pasal 46 – 53.
[6] T. Mayer, J. Desenberry, RZ. Aliber, Money Banking and the Economy, fith ed. WW Norton coy, New York, USA, 1993, page. 179
[7] Pasal-pasal yang diambil adalah dari Undang-undang lama (yaitu Undang-undang nomor 13 tahun 1968 tentang bank Sentral), dan yang dikaitkan dengan Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, karena kasus BLBI terjadi masih dalam rezim Undang-undang tersebut.
[8] I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007, hal. 220
[9] Disarikan dari “ Romli Atmasasmita, Privatisasi BUMN terkait Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Unpublished paper, 2008
[10]Injunction : A prohibitive, equitable remedy issued or granted by a court at the suit of a complanaint, directed to a party defendant in the action , or to a party made defendant in the action..dst., Black’s Law Dictionary, fifth ed. hal. 705
[11] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi 2, Predana Media,Jakarta, 2003, hal. 25
[12] Ibid, hal. 40
[13] Romli Atmasasmita, Privatisasi BUMN terkait Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, unpublished paper, 2008
[14] Tim Redaksi Pustaka Timur, Kasus BLBI, Tragedi Korupsi terbesar di Indonesia, Yogyakarta, 2007, hal. 2
[15] Pengalihan Badan/ lembaga yang menerima pelunasan BLBI diatur dalam SK Direksi BI nomor 31/27/Kep/Dir.
[16] Dikutip dari Marwan Batubara, Skandal BLBI, Ramai-ramai Merampok Negara, Jakarta, 2008, hal. 28 – 29
[17]Lihat, Kwik Kian Gie, MSAA dan drama penerbitan R & D, dalam Marwan Batubara, dkk , Skandal BLBI : Ramai-ramai Merampok Negara, Haekal Media Center, Jakarta, 2008
[18] Beban Pemerintah melalui APBN ini terasa sangat memberatkan. Dalam APBN tahun 2004, tercantum beban pembayaran bunga sebesar 62.5 Triliun dan cicilan pokok sebesar 71.9 Triliun.

Minta Maaf atas Tragedi Hillsborough, PM Inggris Menangis

Windi Wicaksono - Okezone
Kamis, 13 September 2012 15:32 wib
David Cameron saat meminta maaf (Foto: Reuters)
David Cameron saat meminta maaf (Foto: Reuters)
LIVERPOOL – Terungkapnya kebenaran dalam kasus Tragedi Hillsborough pada tahun 1989, yang menyebabkan tewasnya 96 orang fans Liverpool, membuat Perdana Menteri Inggris, David Cameron harus meminta maaf.

Tragedi Hillsborough adalah tragedi yang terjadi karena suporter yang saling berjejalan di tribun penonton pada tanggal 15 April 1989 di Hillsborough, markas Sheffield Wednesday. Saat itu, Liverpool tengah menjalani pertandingan semifinal FA Cup antara Liverpool dan Nottingham Forest.

Saat itu, Liverpudlian disebut sebagai penyebab Tragedi Hillsborough, karena dalam laporan kepolisian setempat dan panitia pertandingan, disebutkan banyak Liverpudlian yang mabuk dan berbuat onar. Bahkan, laporan lain menyebutkan, banyak fans Liverpool yang masuk ke stadion tanpa memiliki tiket.

Para keluarga korban Hillsborough menolak klaim tersebut dan menuntut keadilan untuk menyelidiki kebenaran dari tragedi itu. Selama 23 tahun, akhirnya keluarga 96 korban mendapat keadilan setelah dilakukan penyelidikan.

Dalam penyelidikan yang dilakukan Hillsborough Independent Panel (HIP), diketahui adanya pemalsuan dokumen laporan berita acara dari kepolisian dan panitia pertandingan. Dokumen lain menyebut adanya kelalaian polisi South Yorkshire, Sheffield dalam mengantisipasi jumlah penonton yang membludak.

Kesalahan polisi pada kejadian tersebut, yang menyebabkan tewasnya para pendukung Liverpool karena kehabisan nafas akibat terhimpit, seakan disembunyikan atau ditutup-tutupi.

David Cameron di tengah pidato kenegaraannya secara resmi meminta maaf kepada fans Liverpool, khususnya keluarga korban Tragedi Hillsborough. Dia menyebut adanya ketidakadilan ganda, yang selama ini diterima korban Tragedi Hillsborough.

Bahkan, Cameron sampai tertunduk dan meneteskan air mata atas kesalahan pemerintah terdahulu, di era Perdana Menteri Margaret Thatcher, yang ikut menyalahkan Liverpudlian atas tragedi dengan jumlah korban terbanyak dalam sejarah kecelakaan di sebuah stadion di Inggris Raya itu.

“Dengan adanya bukti baru dalam laporan ini, tepat hari ini saya sebagai Perdana Menteri membuat permintaan maaf untuk keluarga 96 korban dan untuk mereka semua yang telah menderita selam 23 tahun,” ujar Cameron, seperti dilansir Daily Mail, Kamis (13/9/2012).

"Atas nama pemerintah dan juga negara, saya sangat menyesal untuk ketidakadilan ganda ini yang berlangsung begitu lama," lanjutnya.

Dia juga merasa pemerintah tidak mampu menjaga dan melindungi rakyatnya saat itu. Cameron secara tegas menjelaskan, jika fans Liverpool sama sekali tidak bersalah atas insiden tersebut di hadapan anggota parlemen Inggris.

Cameron juga mengatakan bahwa Jaksa Agung, Dominic Grieve, akan meninjau laporan secepat mungkin untuk memutuskan apakah pengadilan tinggi untuk membuat laporan baru soal tragedi Hillsborough.

"Tapi, penyelidikan tidak memiliki akses ke semua dokumen tersedia, hal ini diikuti oleh pemeriksaan yang berjalan kontroversial dan cerita versi media yang berusaha untuk menyalahkan para suporter (Liverpool)," terangnya.

“Pemerintah merasa bahwa tak ada yang seharusnya disembunyikan dan semua dokumen yang ada soal tragedi seharusnya tersedia untuk penyelidikan.Hasilnya pemerintah hanya memiliki waktu yang sangat terbatas untuk mempelajari bukti sejauh ini. Tapi, sudah sangat jelas bahwa banyak temuan dari laporan itu sangat menyedihkan," jelas Cameron.

"Ini jelas salah dan menyebabkan pelanggaran besar terhadap suporter, rasa sedih dan perasaan terluka," tutupnya.
Tragedi Bintaro adalah peristiwa tabrakan hebat dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, pada tanggal 19 Oktober 1987 yang merupakan kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian di Indonesia. Peristiwa ini juga menyita perhatian publik dunia.
Sebuah kereta api yang berangkat dari Rangkasbitung, bertabrakan dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Tanah Abang. Peristiwa ini tercatat sebagai salah satu musibah paling buruk dalam sejarah transportasi di Indonesia.
Penyelidikan setelah kejadian menunjukkan adanya kelalaian petugas Stasiun Sudimara yang memberikan sinyal aman bagi kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan karena penuhnya jalur di stasiun Sudimara.

Daftar isi

Lokasi

Kecelakaan terjadi di antara Stasiun Pondokranji dan Pemakaman Tanah Kusir, Sebelah Utara SMUN 86 Bintaro. Di dekat tikungan melengkung Tol Bintaro, tepatnya di lengkungan S, berjarak kurang lebih 200 m setelah palang pintu Pondok Betung dan ± 8 km sebelum Stasiun Sudimara.

Kecelakaan

Peristiwa bermula atas kesalahan kepala Stasiun Serpong memberangkatkan KA 225 ke Stasiun Sudimara, tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara. Sehingga, ketika KA 225, jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota, tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 6:45 WIB, stasiun Sudimara yang punya 3 jalur saat itu penuh dengan KA.
  • Jalur 1: KA 225
  • Jalur 2: KA Indocement hendak ke arah Jakarta juga
  • Jalur 3: Gerbong tanpa lokomotif
KA 225 sedianya bersilang dengan KA 220 Patas di Stasiun Kebayoran yang hendak ke Merak. Itu berarti KA 220 Patas di stasiun Kebayoran harus mengalah, namun PPKA Stasiun Kebayoran tidak mau mengalah dan tetap memberangkatkan KA 220. PPKA Stasiun Sudimara pun lantas memerintahkan juru langsir untuk melangsir KA 225 masuk jalur 3. Saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan yang diberikan, karena penuhnya lokomotif pada saat itu. Kemudian masinis bertanya kepada penumpang yang berada di lokomotif "berangkat ?" penumpang menjawab "berangkat !!". Sang masinis pun membunyikan Semboyan 35 dan berjalan. Juru langsir yang kaget mengejar kereta itu dan naik di gerbong paling belakang. Para petugas stasiun kaget, beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda motor. PPKA Sudimara Djamhari mencoba memberhentikan kereta dengan menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil. Dia pun langsung mengejar kereta itu dengan mengibarkan bendera merah. Namun sia-sia, Djamhari pun kembali ke stasiun dengan sedih, dia membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Tetapi kereta tetap melaju. Setelah diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.
KA 225 berjalan dengan kecepatan 25km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 220 berjalan dengan kecepatan 30km/jam.
Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang, Senin pagi itu bertabrakan di tikungan S ± Km 18.75. Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 rusak berat. Jumlah korban jiwa 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.

Sanksi atas kelalaian pihak yang terlibat

Akibat tragedi tersebut, masinis Slamet Suradio diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di Purworejo. Sebelumnya, ia telah berkarya selama 20 tahun di perusahaan KA.
Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sedangkan Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan.

Pada budaya populer

Catatan kaki

  1. ^ a b Asriat Ginting (2007). Musisiku. Penerbit Republika. hlm. 286–. GGKEY:6YZ5LLBTK8Q. Diakses pada 22 Mei 2012.

Pranala luar


Polling MNC Research

Rapor Merah Pemerintah dalam Pemberantasan Narkoba

Dede Suryana - Okezone
Rabu, 31 Oktober 2012 10:27 wib
Ilustrasi narkoba (Foto: Dede K/Okezone)
Ilustrasi narkoba (Foto: Dede K/Okezone)
JAKARTA - Masyarakat Indonesia, khususnya warga Ibu Kota, kecewa dengan Pemerintah dalam hal pemberantasan narkoba. Masyarakat menilai, upaya Pemerintah bukannya membaik, malah sebaliknya.

Berdasarkan polling yang dilakukan oleh MNC Media Research kepada 400 warga Jakarta, 64,14 persen responden memberi nilai merah kepada Pemerintah. Jumlah responden yang memberi nilai merah naik hampir 16 persen dibandingkan data di bulan Agustus lalu.

Saat itu, bertepatan dengan mengemukanya pemberian grasi kepada Corby dan seorang napi narkoba berkewarganegaraan Jerman, Peter Achim Franz Grobmann. Sejumlah 48,21 persen kecewa dan menganggap Pemerintah tidak serius memberantas narkoba.

Kekecewaan publik memuncak saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali memberikan grasi pada terpidana mati kasus narkoba Deni Setia Maharwan alias Rafi dan Merika Pranola alias Ola.

Polling kembali digulirkan dan hasilnya adalah nilai raport makin merah. 30 persen responden memberi nilai 5, dan 23 persen memberi nilai 3 dan 4. Bahkan, dari skala nilai 1 hingga sepuluh yang disediakan untuk dipilih responden, sekira 2 persen responden berkeras memberi nilai 0.

Pendapat masyarakat ini tentu bukan tanpa alasan. Indonesia saat ini tak sekedar konsumen dan tempat pemasaran kejahatan. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia sudah menjadi surga bagi pebisnis narkotika dan obatan-obatan terlarang.

Salah satunya, pada 2005 polisi mengungkap pabrik ekstasi di Serang, Banten yang disebut sebagai pabrik terbesar ketiga di dunia setelah pabrik di Fiji dan China. Tak lama berselang, jaringan pil ekstasi internasional terbesar di Indonesia yang sudah beroperasi selama 10 tahun terungkap. Terbaru, telah ditemukan 1.412.475 pil ekstasi dengan kemampuan merusak 1,5 juta warga Indonesia.

Pada 2011, jumlah kasus narkoba melonjak menjadi 26.560 kasus. Padahal pada 1997, hanya ditemukan 602 kasus saja. Meski responden tak pernah memelototi angka-angka tersebut, namun situasi yang memburuk dapat mereka rasakan, dan karenanya, hampir 100 persen responden menyatakan bahwa permasalahan narkoba masuk dalam kategori mengkhawatirkan.

Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan jumlah pengguna narkoba di Indonesia kini mencapai 3,8 juta orang atau setara dengan 2,2 persen penduduk Indonesia. Penggunanya kebanyakan dari kalangan usia produktif, yaitu kaum profesional muda. Jumlah tersebut mendekati jumlah penduduk dengan status mahasiswa di seluruh Indonesia.

Fakta-fakta tersebut membawa Indonesia menduduki peringkat 3 dunia untuk pasar narkoba. Fakta dan kekhawatiran yang tinggi menjadi pendorong bagi responden untuk menyatakan tidak setuju pada tindakan Presiden memberi grasi pada terpidana kasus narkoba.

Untuk diketahui, responden yang terjaring dalam polling ini adalah masyarakat kelas menengah. Mayoritas berusia produktif (58,75 persen berusia 17-45 tahun), tingkat pengeluaran per bulan lebih dari 2 juta per bulan (58,79,76 persen), dan minimal tamat SMA (86,15 persen).

Polling dilakukan MNC Media Research pada 20 Oktober 2012 dan menjangkau 400 responden berusia 17 tahun ke atas yang berdomisili di 5 wilayah Provinsi DKI Jakarta yakni Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Jumlah responden di setiap wilayah ditentukan secara proporsional.

Tingkat kepercayaan 95 persen, dengan ambang kesalahan 4,9 persen. Hasil polling tidak dimaksudkan sebagai representasi pendapat seluruh warga Jakarta. (ded)
Inilah Kronologi Bentrok di PN Jaksel

KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN Dua kelompok pemuda terlibat aksi serang di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, Rabu (29/9/2010). Kejadian yang berlangsung sekitar satu jam mengakibatkan tiga orang tewas.
JAKARTA, KOMPAS.com — Bentrokan dua kubu sebelum persidangan kasus Blowfish di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pecah, Rabu (29/9/2010). Mereka adalah kubu pendukung tedakwa Bernandus Maela dan kubu yang berseteru dengannya.
Tiga korban dinyatakan tewas dan sejumlah korban lain mengalami luka serius akibat bacokan. Tiga polisi pun juga terluka terkena sabetan golok. Bahkan, Kapolres Jakarta Selatan Kombes Gatot Edy terserempet peluru di kakinya.
Berikut adalah kronologi awal kasus Blowfish hingga masuk ke proses persidangan dan detik-detik terjadinya tragedi kerusuhan antarpendukung pada siang tadi.
4 April 2010 Perkelahian antara dua kelompok suku yaitu Ambon dan Flores meledak di Blowfish, klub kongkow elite di Jakarta yang bertempat di Plaza City sekitar pukul 01.00 WIB. Perkelahian bermula saat seorang pemuda 17 tahun berusaha menerabas masuk klub. Saat bodyguard melarang masuk, ia memaksa dan akhirnya dipukuli oleh petugas satpam yang terlebih dahulu dipukulinya. Laki-laki itu mengaku anak pejabat, dan janji akan membalas.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Boy Rafli Amar kala itu mengatakan, peristiwa itu berlatar belakang kekesalan petugas keamanan yang sebelumnya dipukul pengunjung karena tak tersedianya meja. Dalam bentrokan itu, M Soleh meninggal disusul oleh temannya, Yopi Inggratubun, yang meninggal dua minggu kemudian setelah dirawat di RS Medistra.
22 September 2010 Persidangan insiden Blowfish digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk kali perdana. Terdakwa kasus Blowfish, Bernadus Melala dan Kanor Lolo, didudukkan di kursi terdakwa. Namun, mereka lalu diamuk dan dipukuli pengunjung sidang dari kelompok berbeda yang bertikai saat hendak dibawa keluar dari ruang tahanan pengadilan menuju ruang sidang. Polisi sempat beberapa kali melepaskan tembakan peringatan, tetapi tetap tak mampu menghadang bentrok antara dua kubu.
29 September 2010 Agenda persidangan lanjutan kasus Blowfish. Agenda ini bertepatan juga dengan agenda persidangan perdana mantan Kabareskrim Polri Komjen Susno Duadji dalam dua perkara suap dan korupsi masing-masing menerima suap dalam penanganan kasus Arowana dan perkara korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun 2008.
Pukul 09.00 Sebanyak dua SSK polisi Samapta dan Antihuru-hara disiapkan oleh kepolisian lengkap dengan tameng dan helm pelindungnya guna mengamankan dan mengantisipasi terjadinya kembali aksi kerusuhan pengunjung sidang Blowfish. Pengunjung sidang Blowfish dan Susno sudah mulai terlihat mendatangi Pengadilan Negeri.
Pukul 10.30 Susno tiba di Pengadilan dengan pengawalan ketat. Kericuhan terjadi kala pemburu berita mencoba mengabadikan kedatangan dan sidang perdana mantan Kapolda Jawa Barat itu. Satu kaca nako ruang pos bantuan hukum Ikadin di pengadilan pecah karena kericuhan.
Pukul 11.00 Susno dihadapkan ke persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan. Ruang sidang utama dipenuhi pengunjung, keluarga Susno, dan awak media. Di sisi lain, pengunjung sidang Blowfish berkeliaran mulai memenuhi lokasi persidangan.
Pukul 12.00 Susno selesai melalui persidangan perdananya. Kericuhan kembali terjadi saat pemburu media berlomba mengabadikan dirinya dan memintai tanggapannya seputar dakwaan jaksa. Ibunda Susno, Mardiyah, dan keluarga besar Susno pun turut terseret desak-desakan dan aksi dorong yang mewarnai kericuhan.
Pukul 13.00 Aksi kerusuhan mulai pecah di antara kedua kubu "Blowfish" di luar area pengadilan, tepatnya di Jl Ampera Raya, di depan PN Jakarta Selatan. Kericuhan diduga bermula dari isu di antara kedua kelompok. Beredar kabar, salah satu kelompok mendatangi pengadilan dengan menumpang Kopaja jurusan Tanah Abang-Blok M guna melakukan aksi penyerangan lanjutan terhadap salah satu kelompok sebagai imbas dari kerusuhan sidang sebelumnya.
Salah satu kelompok yang mendengar isu itu menghampiri kelompok satunya dan berusaha menghadang kelompok lawan mereka di sekitar Jl Ampera sebelum sampai di depan Pengadilan. Badan bus Kopaja 608 yang diisukan ditumpangi lawan mereka itu pun menjadi sasaran amuk. Kaca dan kursi hancur karena dipukul dengan kayu dan batu. Beberapa orang juga terlihat menggoyang-goyangkan bus tersebut, sedangkan sebagian lain berniat membakar bus dengan memantik korek. Bus yang terparkir di depan toko buah Total Fresh tersebut terus menjadi bulan-bulanan massa. Namun, rencana membakar bus tersebut kemudian dibatalkan karena sebagian orang berusaha menghalangi hal tersebut.
Aksi saling pukul dan lempar batu pun mulai terjadi di antara kedua kubu. Suasana mencekam. Warga dan pengguna jalan yang melintas dengan kendaraan ketakutan. Lalu lintas yang sebelumnya sudah macet menjadi tambah macet. Tembakan peringatan dan tembakan lainnya mulai terdengar bersahut-sahutan. Parang dan pedang tergenggam saling terayun dari masing-masing anggota kelompok ke arah masing-masing anggota kelompok lawan. Di antara mereka juga diketahui membawa senjata api. Seorang lelaki tampak terkapar di tengah jalan. Darah berlinang di tubuhnya.
Pukul 14.00 Personel kepolisian Antihuru-hara tambahan dari Polres Jakarta Pusat datang. Disusul oleh kedatangan satu ambulans PMI Jakarta Selatan dan beberapa mobil polisi lainnya. Korban kerusuhan mulai dievakuasi satu demi satu setelah sebelumnya sempat terabaikan karena tidak ada petugas medis.
Pukul 14.50 Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Boy Raffli Amar mendatangi lokasi. Kapolda Metro Jaya Irjen Timur Pradopo menyusul datang meninjau lokasi. Boy melansir, tiga orang menjadi korban tewas akibat bentrok dan lebih dari sepuluh orang luka-luka. (Roy)


PESAN PERDAMAIAN
KOMPAS.com/TAUFIQURRAHMAN Enam pria berkopiah putih, mendatangi posko relawan kemahasiswaan yang melakukan penggalangan dana kemanusiaan untuk korban kerusuhan Sampang. Mereka keberatan atas aksi itu.
Oleh Abd Aziz
SAMPANG, KOMPAS.com--Shalat Jumat warga Syiah korban penyerangan kelompok anti-Syiah di Gedung Olahraga (GOR) Wijaya Kusuma, Sampang, Madura, menyampaikan pesan perdamaian dan pentingnya kerukunan sesama umat Islam.
Pesan perdamaian itu damai disampaikan Ketua Dewan Syuro Ahlulbait Indonesia (Abi) Doktor Umar Shahab selaku khatib pada shalat Jumat (31/8).
Dalam khutbahnya, Umar menjelaskan, musibah yang menimpa kaum Syiah di Sampang adalah ujian dari Allah SWT seperti telah ditegaskan dalam Al Quran. "Allah akan menguji kamu dengan rasa takut dan rasa lapar," katanya menjelaskan.
Akan tetapi, sambung dia, jika ujian itu bisa dihadapi dengan sabar, maka Allah akan mengasihi dan menyayangi orang-orang yang terkena ujian tersebut.
Aksi kekerasan yang saudara hadapi, kata dia, adalah untuk menguji kecintaan terhadap Allah dan keluarga Rasulullah. Dan, sambung dia, orang yang masuk surga adalah orang-orang yang telah mendapatkan ujian dan bisa menghadapi ujian itu dengan sabar.
"Kita," sambung khatib keturunan Arab ini, "kelompok Islam Syiah diharapkan tidak melakukan tindakan-tindakan yang memicu tindakan yang dilarang oleh Allah SWT."
Umar Shahab dalam kesempatan itu juga sempat menyampaikan pesan seorang korban tewas dari warga Syiah dalam tragedi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok anti-Syiah pada tanggal 26 Agustus 2012.
Almarhum, ujar dia, berpesan jangan ada dendam karena tindakan dendam melanggar ajaran agama.
Jika, kelompok Syiah menyimpan rasa dendam kepada kelompok penyerang, menurut Umar, maka akan sama saja dengan mereka yang telah menyerang umat Syiah.
Ustad Umar juga mengutuk aksi perusakan dan penganiayaan terhadap kelompok minoritas ini.
Pelaku kekerasan yang menyebabkan sebanyak 37 rumah rusak, 1 orang tewas dan 6 orang lainnya luka-luka itu juga orang Islam. Akan tetapi mereka telah dirasuki hawa nafsu sehingga melupakan larangan Allah dan Rasulnya.
Tetap Saudara
Meski mengutuk aksi penyerangan yang telah menyebabkan pengikut Syiah tewas dan luka-luka, serta tempat tinggalnya dibakar massa, Umar tetap meminta agar para korban bersabar dan tetap mengulurkan tangan perdamaikan kepada mereka. "Mereka tetap saudara-saudara kita," katanya.
Di samping itu, siapapun yang mengucapkan kalimat syahadat adalah tetap saudara, termasuk mereka yang telah melakukan aksi penyerangan kepala kelompok minoritas Islam Syiah di Sampang.
"Orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat haram untuk diganggu dan itu kata Rasulullah dan hadis yang diakui oleh golongan manapun dan ulama manapun," katanya menegaskan.
Ia mengimbau kaum Syiah tetap mengulurkan tangan persaudaraan, dan perdamaian kepada mereka. "Kita tidak ingin membuka peperangan dengan mereka karena mereka adalah saudara-saudara kita," katanya.
Mereka, kata Umar, salah paham tentang pengikut Ahlulbait (Syiah). Padahal, Syiah adalah Muslim yang percaya kepada 114 surat yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan surat An-Nas.
Jika ada anggapan bahwa Syiah memiliki Quran sendiri itu jelas salah. "Kita juga tahlilan, mauludan, kita juga melakukan haul," katanya.
Ustad Tajul (pimpinan Islam Syiah Sampang), kata dia, juga tidak pernah mengajari hal yang menyesatkan. "Apakah selama ini saudara-saudara diajarkan Al Quran lain oleh Ustad Tajul?" tanyanya. "Tidak," jawab jamaah shalat itu dengan kompak.
Ia menilai, ada oknum ketiga di balik kasus tragedi Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur itu. Sehingga, karena informasi pihak ketiga maka Syiah dipersepsi berbeda dan dianggap sebagai ajaran  sesat.
Sebaiknya jika ada kesan bahwa Syiah menyimpang, maka sebaiknya diklarifikasi kepada pihak-pihak yang bersangkutan. "Fatabayyanu," katanya, mengutip Allah di dalam Al Quran.
Alangkah lebih baiknya, jika ada informasi yang tidak benar diklarifikasi lebih dahulu secara langsung kepala pihak-pihak yang bersangkutan secara langsung, bukan kepada pihak ketiga.
Ia yakin, akibat adanya informasi dan klarifikasi yang tidak benar dari pihak ketiga--bukan melakukan klarifikasi langsung kepada pihak yang berkompeten--masyarakat yang tidak tahu apa-apa akhirnya menjadi korban.
"Saya ingin menyampaikan pesan kepada mereka, melalui khutbah ini bahwa semua tudingan bahwa Syiah memiliki Al Quran lain, sama sekali tidak benar," katanya.
Ketua Dewan Syuro Abi ini menjelaskan, Syiah yakin pada Rukun Islam, Rukun Iman, Qodha dan Qodhor, puasa dan berbagai jenis ibadah lainnya seperti yang dipercaya semua umat dan kelompok Islam lain di dunia ini. "Bahwa ada perbedaan kecil, itu memang. Dan itu saya kira juga ada pada semua golongan Islam," katanya.
Di akhir khutbahnya, ia berpesan agar warga Syiah korban kekerasan kelompok anti-Syiah agar tetap bersabar dalam menghadapi penindasan dengan senantiasa mendoakan agar para penyerang itu diberi kesadaran.
Sebab, menurut Umar, mereka tetap orang-orang Islam dan setiap saat sesama orang Islam diharuskan untuk selalu saling mendoakan.
Kasus penyerangan kelompok Islam Syiah di Dusun Nanggernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, Madura, merupakan yang kedua kali dalam dua tahun terakhir ini.
Aksi serupa juga terjadi pada 29-30 Desember 2011. Ketika itu rumah pimpinan Islam Syiah, mushalla dan madrasah kelompok Islam minoritas ini diserang oleh  massa anti-Syiah.
Kasus penyerangan yang dilakukan oleh kelompok massa tak dikenal terhadap kelompok Islam Syiah di Desa Karang Gayam, Sampang, Madura, Minggu (26/8) itu menyebabkan 1 orang tewas dan 6 orang lainnya luka-luka.
Kerusuhan berawal saat 20 anak dari pemukiman Syiah di Desa Karang Gayam, Madura, yang bersekolah di Bangil, Pasuruan, hendak kembali ke pesantren mereka di Pasuruan seusai merayakan Idul Fitri di tempat tinggal mereka.
Murid-murid itu dihadang oleh kelompok massa yang menggunakan 30 sepeda motor. Siswa pesantren Syiah yang sudah naik angkutan umum disuruh turun, sedangkan yang mengendarai kendaraan dipaksa pulang ke rumah mereka masing-masing.
Kelompok Syiah yang kemudian melawan aksi itu justru membuat massa makin beringas sehingga bentrokan tidak terhindarkan.
Sementara, hingga kini polisi telah memeriksa 20 orang yang diduga terlibat dalam kasus kekerasan tersebut, dan satu diantaranya bernama Roisul Hukama telah ditetapkan sebagai

Wanita Filipina Divonis Mati di Vietnam Atas Kasus Narkoba

Rita Uli Hutapea - detikNews
Berbagi informasi terkini dari detikcom bersama teman-teman Anda
Ilustrasi
Hanoi, - Seorang wanita Filipina divonis mati oleh pengadilan Vietnam atas kasus penyelundupan narkoba ke negeri itu. Wanita berumur 61 tahun itu terbukti bersalah atas penyelundupan lebih dari 5 kilogram sabu-sabu.

Amodia Teresita Palacio ditangkap pada April lalu di bandara Hanoi, Vietnam. Wanita itu kedapatan memiliki lebih dari 5 kg sabu-sabu. Oleh pengadilan Vietnam, dia dinyatakan bersalah karena telah berulang kali masuk ke Vietnam dari Thailand untuk menyelundupkan narkoba.

Demikian disampaikan seorang staf pengadilan Vietnam seperti dilansir kantor berita AFP, Rabu (31/10/2012).

Aturan hukum Vietnam mengenai narkoba termasuk yang paling ketat di dunia. Bahkan siapapun yang terbukti bersalah atas kepemilikan lebih dari 500 gram heroin akan diancam hukuman mati.

Pada Juni lalu, pengadilan Vietnam menghukum mati seorang mahasiswa Thailand berumur 23 tahun atas penyelundupan tiga kilogram sabu. Saat ini ada lebih dari 400 terpidana mati di negeri itu, yang kebanyakan dihukum atas kasus-kasus narkoba atau pembunuhan. Namun eksekusi mati telah menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Sejak Juli 2011, ketika Vietnam mengubah hukuman mati yang semula dengan tembak mati menjadi suntik mati, belum ada tahanan yang dieksekusi. Sebabnya, Vietnam kekurangan obat-obat mematikan yang diperlukan untuk menyuntik mati tahanan.
JAKARTA: Jati diri Sutradara film "Innocence of Muslims" terungkap. Menurut pejabat hukum di Los Angeles, Amerika Serikat, penyunting film ini bernama asli Nakoula Basseley Nakoula. Dari catatan kriminal, Nakoula kerap memakai sejumlah alias seperti Sam Bacile, Mark Basseley, Yousseff M. Basseley, Nicola Bacily, dan Erwin Salameh.

Nakoula tengah dalam masa percobaan sebagai tahanan penjara ketika membuat film kontroversial itu. Ia tersandung kasus penggelapan uang. Dalam hukum AS, tak masalah memproduksi film ini. Masalahnya, Nakoula menggunakan akses internet tanpa persetujuan petugas dalam masa percobaan.

"Kantor percobaan AS sedang mengkaji kasus ini," kata Karen Redmond, juru bicara kantor administrasi dari Pengadilan AS di Washington DC kepada Reuters.

Pada 2010, Nakoula mengaku bersalah atas penggelapan uang dan dijatuhi hukuman 21 bulan penjara dan lima tahun masa percobaan. Ia dituduh membuka rekening kredit dan menggunakan kartu identitas serta nomor jaminan sosial palsu. Ia dibebaskan Juni 2011.

Sutradara film Innocnece of Muslims itu dilaporkan telah menipu aktor dan kru film. Awalnya bintang film Innocence of Muslims diberitahu akan melakuan pengambilan gambar untuk film tentang sejarah Mesir.(api)


TERKAIT

TERBARU

LAINNYA

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada.

Latar belakang dan kejadian

Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju gedung DPR/MPR pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri--militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 17.15 para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam.

Rentang waktu

Peta situasi Trisakti pada 12 Mei, 1998
  • 10.30 -10.45
    • Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan. Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
  • 10.45-11.00
    • Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.
  • 11.00-12.25
    • Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen, karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.
  • 12.25-12.30
    • Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
  • 12.30-12.40
    • Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang) dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib pada saat turun ke jalan.
  • 12.40-12.50
    • Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar.
  • 12.50-13.00
    • Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Walikota Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan.
  • 13.00-13.20
    • Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Sementara negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.
  • 13.20-13.30
    • Tim negoisasi kembali dan menjelaskan hasil negoisasi di mana long march tidak diperbolehkan dengan alasan oleh kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Dilain pihak pada saat yang hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
  • 13.30-14.00
    • Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
  • 14.00-16.45
    • Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.
    • Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
  • 16.45-16.55
    • Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tapi setelah dibujuk oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau bergerak mundur.
  • 16.55-17.00
    • Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.
    • Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat yang menyamar.
  • 17.00-17.05
    • Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta Kapolres agar masing-masing baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama mundur.
  • 17.05-18.30
    • Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
    • Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata dihampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.
    • Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
    • Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
    • Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
  • 18.30-19.00
    • Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju RS.
  • 19.00-19.30
    • Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi.
  • 19.30-20.00
    • Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
  • 20.00-23.25
    • Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban, mahasiswa berangsur-angsur pulang.
    • Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi

Cari Blog Ini

About Me

Foto saya
hai guys aku seorang conten creator

BTemplates.com

Diberdayakan oleh Blogger.

Send Quick Massage

Nama

Email *

Pesan *

Total Tayangan Halaman

Powered By Blogger

cbox

Popular Posts

Blog Archive